PEMBINAAN MENTAL UNTUK ATLET USIA DINI
Keterlibatan atlet usia dini dalam kompetisi olahraga ini tidak dapat terlepas dari keterlibatan orang dewasa sebagai pelatih, pembina maupun sebagai orangtua atlet. Oleh karena itu program pelatihan olahraga usia dini merupakan suatu sistem sosial yang kompleks.
Bagi kebanyakan anak, pengalaman pertamanya dalam aktivitas olahraga ditangani oleh pelatih yang belum berpengalaman atau bahkan seseorang yang profesinya bukan pelatih. Walaupun orang-orang tersebut menguasai teknik olahraga yang dilatihnya, namun jarang sekali dari mereka yang telah mengikuti pelatihan formal dalam menciptakan lingkungan psikososial yang sehat bagi atlet usia dini. Dikhawatirkan, para pelatih ini hanya mengejar kemenangan, dimana hal ini sangat tidak mendidik terutama dalam konteks olahraga rekreasi dan mengasah keterampilan.
Dalam tulisan ini diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membina atlet usia dini, khususnya dari sudut psikologi olahraga dan psikologi kepelatihan, sehingga atlet memiliki bekal mental yang tangguh.
tkdwk.blogspot.com
PENDAHULUAN
Partisipasi anak usia dini di dalam bidang olahraga semakin terlihat, terbukti dengan semakin banyaknya dibuka klub-klub olahraga bagi anak usia Sekolah Dasar. Dalam institusi pendidikan pun semakin diperhatikan sarana dan prasarana kompetisi olahraga, bahkan sampai dengan kompetisi olahraga usia dini tingkat nasional.
Partisipasi anak usia dini di dalam bidang olahraga semakin terlihat, terbukti dengan semakin banyaknya dibuka klub-klub olahraga bagi anak usia Sekolah Dasar. Dalam institusi pendidikan pun semakin diperhatikan sarana dan prasarana kompetisi olahraga, bahkan sampai dengan kompetisi olahraga usia dini tingkat nasional.
Keterlibatan atlet usia dini dalam kompetisi olahraga ini tidak dapat terlepas dari keterlibatan orang dewasa sebagai pelatih, pembina maupun sebagai orangtua atlet. Oleh karena itu program pelatihan olahraga usia dini merupakan suatu sistem sosial yang kompleks.
Bagi kebanyakan anak, pengalaman pertamanya dalam aktivitas olahraga ditangani oleh pelatih yang belum berpengalaman atau bahkan seseorang yang profesinya bukan pelatih. Walaupun orang-orang tersebut menguasai teknik olahraga yang dilatihnya, namun jarang sekali dari mereka yang telah mengikuti pelatihan formal dalam menciptakan lingkungan psikososial yang sehat bagi atlet usia dini. Dikhawatirkan, para pelatih ini hanya mengejar kemenangan, dimana hal ini sangat tidak mendidik terutama dalam konteks olahraga rekreasi dan mengasah keterampilan.
Dalam tulisan ini diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membina atlet usia dini, khususnya dari sudut psikologi olahraga dan psikologi kepelatihan, sehingga atlet memiliki bekal mental yang tangguh.
ASPEK
PSIKOLOGIS YANG BERPERAN PADA ATLET USIA DINI
Seorang anak selalu mencari pengakuan dari orang dewasa akan kemampuan dirinya. Dalam melakukan aktivitas olahraga, pujian yang diberikan terhadap penampilan anak dapat mengembangkan aspek psikologisnya, seperti perasaan percaya diri, kegembiraan, harga diri, pengalaman merasakan mencapai tujuan, dan pengakuan dari teman sebaya.
Sebaliknya, jika anak mendapatkan pengalaman yang negatif dalam berolahraga, maka aspek psikologisnya pun dapat berkembang secara negatif. Disini penilaian diri negatif, frustrasi, agresi dan aspek negatif lain dapat terlihat dengan jelas.
Setelah anak berusia 5 tahun, mereka mulai dapat dikenalkan dengan jenis olahraga permainan yang lebih kompleks, yang melibatkan kerjasama dan kompetisi. Namun perlu diperhatikan disini, kompetisi dimaksud haruslah tetap berada dalam konteks bermain. Untuk mulai menerapkan olahraga yang memiliki aturan formal, sebaiknya tunggu sampai anak berusia 8 atau 9 tahun.
Dalam olahraga kompetitif, pemain bukan hanya berusaha mencapai targetnya, tapi juga berusaha mencegah lawan mencapai target mereka. Hal ini melibatkan konflik langsung yang seringkali diikuti dengan agresivitas dalam usahanya mencegah lawan mencapai sukses.
Dalam prosesnya, jenis olahraga yang penontonnya dapat berteriak bebas, terutama pada olahraga beregu, bisa berdampak negatif terhadap perkembangan psikososial anak, terutama jika pelatih dan orangtua tidak dapat mengendalikan emosi pada saat pertandingan berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena terlalu menekankan untuk mencapai kemenangan. Oleh karena itu, orang dewasa yang terlibat dalam kompetisi olahraga atlet usia dini juga perlu mendapat pengetahuan dan pendidikan tentang pembinaan olahraga usia dini.
Pemahaman tentang target realistis yang bisa dicapai atlet usia dini perlu ditekankan. Dalam olahraga usia dini, target yang harus dicapai atlet adalah menerapkan sebaik mungkin keterampilan dan kemampuan yang sudah dilatih ke dalam pertandingan. Adalah besarnya usaha dan peningkatan pribadi yang seharusnya dihargai dan menjadi target bagi setiap atlet, bukannya semata-mata mencapai kemenangan dalam pertandingan.
Tujuan pelibatan anak dalam aktivitas olahraga, hendaknya mencakup:
Seorang anak selalu mencari pengakuan dari orang dewasa akan kemampuan dirinya. Dalam melakukan aktivitas olahraga, pujian yang diberikan terhadap penampilan anak dapat mengembangkan aspek psikologisnya, seperti perasaan percaya diri, kegembiraan, harga diri, pengalaman merasakan mencapai tujuan, dan pengakuan dari teman sebaya.
Sebaliknya, jika anak mendapatkan pengalaman yang negatif dalam berolahraga, maka aspek psikologisnya pun dapat berkembang secara negatif. Disini penilaian diri negatif, frustrasi, agresi dan aspek negatif lain dapat terlihat dengan jelas.
Setelah anak berusia 5 tahun, mereka mulai dapat dikenalkan dengan jenis olahraga permainan yang lebih kompleks, yang melibatkan kerjasama dan kompetisi. Namun perlu diperhatikan disini, kompetisi dimaksud haruslah tetap berada dalam konteks bermain. Untuk mulai menerapkan olahraga yang memiliki aturan formal, sebaiknya tunggu sampai anak berusia 8 atau 9 tahun.
Dalam olahraga kompetitif, pemain bukan hanya berusaha mencapai targetnya, tapi juga berusaha mencegah lawan mencapai target mereka. Hal ini melibatkan konflik langsung yang seringkali diikuti dengan agresivitas dalam usahanya mencegah lawan mencapai sukses.
Dalam prosesnya, jenis olahraga yang penontonnya dapat berteriak bebas, terutama pada olahraga beregu, bisa berdampak negatif terhadap perkembangan psikososial anak, terutama jika pelatih dan orangtua tidak dapat mengendalikan emosi pada saat pertandingan berlangsung. Hal ini biasanya terjadi karena terlalu menekankan untuk mencapai kemenangan. Oleh karena itu, orang dewasa yang terlibat dalam kompetisi olahraga atlet usia dini juga perlu mendapat pengetahuan dan pendidikan tentang pembinaan olahraga usia dini.
Pemahaman tentang target realistis yang bisa dicapai atlet usia dini perlu ditekankan. Dalam olahraga usia dini, target yang harus dicapai atlet adalah menerapkan sebaik mungkin keterampilan dan kemampuan yang sudah dilatih ke dalam pertandingan. Adalah besarnya usaha dan peningkatan pribadi yang seharusnya dihargai dan menjadi target bagi setiap atlet, bukannya semata-mata mencapai kemenangan dalam pertandingan.
Tujuan pelibatan anak dalam aktivitas olahraga, hendaknya mencakup:
- Memperkenalkan anak terhadap
berbagai pengalaman olahraga,
- Meningkatkan keterampilan fisik,
- Meningkatkan kemampuan
propriosepsi (perabaan selektif) dan atensi (merupakan faktor positif
dalam belajar secara umum),
- Mengembangkan sosialisasi positif,
- Membangun perasaan memiliki
kemampuan,
- Memupuk kepercayaan dan harga
diri.
Untuk mendapatkan efek positif terhadap perkembangan
psikologis dan sosialisasi anak, maka olahraga perlu diprogramkan dan
disupervisi secara baik, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Menciptakan latihan yang aman
meskipun beresiko,
- Memperhatikan pencapaian kepuasan
akan penampilan,
- Membangun perasaan agar bekerja
mencapai target yang ditentukan,
- Menetapkan peran spesifik
individu,
- Menerapkan kepedulian terhadap
peraturan permainan, serupa dengan terhadap peraturan sosial
- Menghargai dan menghormati lawan,
- Mempromosikan latihan olahraga
yang teratur dan berjangka panjang untuk memelihara kesegaran jasmani.
Perlu juga diperlihatkan bukti-bukti kepada anak bahwa
orang yang terlibat dalam olahraga dan belajar dengan baik, memiliki nilai
akademis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan
aktivitas olahraga.
PERSIAPAN MENTAL PERTANDINGAN
Pada masa awal dimana orangtua, guru atau pelatih mendapatkan bahwa seorang anak memiliki minat atau bakat olahraga, maka mereka mendukungnya secara positif. Dalam masa ini, yang diperlukan anak adalah kegembiraan dalam melakukan latihan olahraga. Oleh karena itu pelatihnya tidak perlu menekankan pada penguasaan teknik atau peraturan pertandingan. Pujian atau hadiah diberikan kepada usaha yang dilakukan anak, bukan terhadap hasil akhir. Disini perlu ditanamkan perasaan “mencapai sukses” bukan hanya sebagai juara, tetapi juga sebagai partisipan. Oleh karena itu, penting sekali di masa awal ini setiap partisipan dalam suatu kejuaraan bisa mendapatkan penghargaan.
Setelah anak mulai menyenangi bahkan “keranjingan” dengan olahraga yang dilakukannya, maka motivasi dan dedikasinya untuk lebih menguasai keterampilan olahraga tersebut akan lebih meningkat. Disini diperlukan pelatih yang lebih terampil dan memiliki hubungan positif dengan anak, sehingga sang anak bisa lebih mengembangkan keterampilan olahraganya dan semakin merasakan keterikatan dengan olahraganya tersebut.
Pada saat anak mulai tertarik untuk menekuni olahraga secara lebih serius, maka dukungan moral dan pengorbanan finansial dari orangtua untuk memenuhi kebutuhan latihan olahraga sangat diperlukan. Jika kebutuhan ini terpenuhi dan prestasi anak terus meningkat, maka anak akan beralih menjadi atlet. Pada tahap ini sebagian peran orangtua sudah diambil alih oleh pelatih maupun oleh si atlet itu sendiri karena ia sudah menjadi lebih mandiri.
Sebagai atlet cilik, persiapan mental dalam menghadapi pertandingan juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Utamanya atlet perlu dibiasakan berfikir positif, diberi keyakinan bahwa dalam pertandingan nanti dirinya mampu menampilkan keterampilan yang telah dilatihnya. Untuk itu beberapa latihan keterampilan psikologis (psychological skills training) seperti latihan relaksasi, latihan konsentrasi dan latihan imajeri perlu diajarkan. Hal ini diuraikan pada bagian terakhir.
PELATIH SEBAGAI PEMBINA MENTAL ATLET
Dalam pelatihan olahraga bagi atlet usia dini, cara pelatih merancang situasi latihan, cara pelatih menetapkan sasaran, serta sikap dan perilaku pelatih dalam kepelatihannya dapat mempengaruhi partisipasi anak ke dalam olahraga. Pelatih tidak hanya berperan dalam situasi olahraga, namun seringkali juga pelatih memiliki pengaruh terhadap aspek lain dalam kehidupan si anak.
Demikian pentingnya peran pelatih dalam olahraga usia dini, karena itu pelatih sangat berperan sebagai pembina mental atlet usia dini.
Beberapa tips bagi pelatih dalam menangani atlet usia dini:
PERSIAPAN MENTAL PERTANDINGAN
Pada masa awal dimana orangtua, guru atau pelatih mendapatkan bahwa seorang anak memiliki minat atau bakat olahraga, maka mereka mendukungnya secara positif. Dalam masa ini, yang diperlukan anak adalah kegembiraan dalam melakukan latihan olahraga. Oleh karena itu pelatihnya tidak perlu menekankan pada penguasaan teknik atau peraturan pertandingan. Pujian atau hadiah diberikan kepada usaha yang dilakukan anak, bukan terhadap hasil akhir. Disini perlu ditanamkan perasaan “mencapai sukses” bukan hanya sebagai juara, tetapi juga sebagai partisipan. Oleh karena itu, penting sekali di masa awal ini setiap partisipan dalam suatu kejuaraan bisa mendapatkan penghargaan.
Setelah anak mulai menyenangi bahkan “keranjingan” dengan olahraga yang dilakukannya, maka motivasi dan dedikasinya untuk lebih menguasai keterampilan olahraga tersebut akan lebih meningkat. Disini diperlukan pelatih yang lebih terampil dan memiliki hubungan positif dengan anak, sehingga sang anak bisa lebih mengembangkan keterampilan olahraganya dan semakin merasakan keterikatan dengan olahraganya tersebut.
Pada saat anak mulai tertarik untuk menekuni olahraga secara lebih serius, maka dukungan moral dan pengorbanan finansial dari orangtua untuk memenuhi kebutuhan latihan olahraga sangat diperlukan. Jika kebutuhan ini terpenuhi dan prestasi anak terus meningkat, maka anak akan beralih menjadi atlet. Pada tahap ini sebagian peran orangtua sudah diambil alih oleh pelatih maupun oleh si atlet itu sendiri karena ia sudah menjadi lebih mandiri.
Sebagai atlet cilik, persiapan mental dalam menghadapi pertandingan juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Utamanya atlet perlu dibiasakan berfikir positif, diberi keyakinan bahwa dalam pertandingan nanti dirinya mampu menampilkan keterampilan yang telah dilatihnya. Untuk itu beberapa latihan keterampilan psikologis (psychological skills training) seperti latihan relaksasi, latihan konsentrasi dan latihan imajeri perlu diajarkan. Hal ini diuraikan pada bagian terakhir.
PELATIH SEBAGAI PEMBINA MENTAL ATLET
Dalam pelatihan olahraga bagi atlet usia dini, cara pelatih merancang situasi latihan, cara pelatih menetapkan sasaran, serta sikap dan perilaku pelatih dalam kepelatihannya dapat mempengaruhi partisipasi anak ke dalam olahraga. Pelatih tidak hanya berperan dalam situasi olahraga, namun seringkali juga pelatih memiliki pengaruh terhadap aspek lain dalam kehidupan si anak.
Demikian pentingnya peran pelatih dalam olahraga usia dini, karena itu pelatih sangat berperan sebagai pembina mental atlet usia dini.
Beberapa tips bagi pelatih dalam menangani atlet usia dini:
- Perlakukan setiap anak sama dengan
anak lainnya. Berikan kesempatan yang sama kepada setiap anak dalam
melakukan suatu aktivitas.
- Ciptakan suasana yang
menggembirakan dalam berlatih maupun bertanding, sehingga minat dan
motivasinya terhadap olahraga semakin meningkat.
- Bersabarlah; pada mulanya anak
mungkin takut atau koordinasi motoriknya kurang, namun dengan pengarahan
yang benar dan latihan yang berulang maka anak akan belajar.
- Usahakan setiap anak dapat
melakukan gerakan olahraga dengan benar, karena hal ini penting bagi
perkembangan keterampilan dan rasa kebanggaannya.
- Gunakan bahasa sederhana, jelas
dan dapat dimengerti oleh anak.
- Kurangi rasa takut yang mungkin
dimiliki anak dengan cara mengantisipasi dan mengurangi kecemasannya.
Humor biasanya efektif.
- Jelaskan dan tunjukkan gerakan
keterampilan olahraga yang benar secara cermat, sehingga anak mengerti apa
yang harus mereka lakukan.
- Jelaskan gerakan keterampilan baru
sedikit demi sedikit, sehingga anak dapat melihat urutan gerak yang benar.
- Ingatlah bahwa jika anak melakukan
kesalahan, itu adalah hal yang wajar; dan itu berarti mereka sedang mencoba.
- Biarkan anak mengajukan
pertanyaan; hal ini menunjukkan bahwa anak itu berpikir.
- Tunjukkan penghargaan terhadap
anak; perlakukan mereka sedemikian rupa sehingga terkesan bahwa baik
pelatih maupun yang dilatih itu sama-sama belajar.
- Bersikaplah positif dan yakinkan
setiap pemain memiliki peran dalam tim, sehingga setiap anak merasa
penting dan spesial.
- Rangsang anak agar mereka memiliki
tokoh model; kenalkan mereka kepada tokoh-tokoh olahraga yang patut
diteladani dan rangsang mereka agar memiliki minat untuk menyaksikan acara
olahraga maupun menyimak berita olahraga.
Selain perlu mengetahui beberapa tips menangani atlet
usia dini, pelatih pun perlu menghindari beberapa hal berikut ini:
- Hindari berteriak keras, berkata
kasar atau membentak anak yang dilatih.
- Janganlah menonjolkan hal buruk
seorang anak atau mengungkit-ungkit kesalahan yang pernah dibuatnya;
apalagi dilakukan di depan anak-anak lain.
- Hindari menghukum anak atas
kesalahan gerak yang dibuatnya. Hukuman dalam hal ini akan membuat anak
menarik diri atau menyerah. Jika anak membuat kesalahan gerakan, koreksi
kesalahan tersebut dan demonstrasikan gerakan yang benar.
- Tidak perlu mengharapkan anak
belajar dengan cepat. Kemampuan anak akan meningkat melalui latihan yang
teratur.
- Jangan mengharapkan anak bermain
seperti seorang profesional. Biarkan mereka menikmati dunia anak-anaknya
sebagai bocah; mereka akan mahir secara bertahap.
- Hindari memperolok atau
mempermainkan anak. Hal ini pada anak akan berdampak terhadap penghukuman
diri sendiri.
- Tidak perlu membandingkan seorang
anak dengan anak lainnya, apalagi dengan ‘jagoan’ di dalam tim.
- Janganlah mengabaikan anak kandung
yang juga dilatih (walaupun dengan tujuan menghilangkan prasangka pilih
kasih). Ingatlah, setiap anak dalam tim selalu menginginkan perhatian
khusus dari pelatihnya.
- Janganlah mengkritik atau mencaci
pelatih lain ataupun wasit, di hadapan anak didik. Hal ini akan
membingungkan anak dan menghambat sportivitasnya.
- Hindari membuat latihan olahraga
semata-mata sebagai kerja keras tanpa kegembiraan. Jika anak gembira dalam
latihan, maka kemungkinannya ia bertahan dalam tim dan dalam olahraga
tersebut akan lebih besar.
LATIHAN VISUALISASI UNTUK ANAK
Visualisasi atau imajeri dalam istilah psikologi olahraga merupakan suatu teknik membayangkan sesuatu di dalam pikiran yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk mencapai target, mengatasi masalah, meningkatkan kewaspadaan diri, mengembangkan kreativitas dan sebagai simulasi gerakan atau kejadian. Bagi seorang anak, aktivitas visualisasi sangat mudah mereka lakukan karena dalam kehidupan bermain anak sehari-hari, mereka seringkali melakukannya sebagai khayalan.
Sebelum melakukan latihan visualisasi, anak bisa diajak untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu, dimana anak diminta berbaring dengan mata tertutup lalu mereka diminta menarik nafas panjang dan membuang nafas secara perlahan-lahan melalui mulut. Gerakan ini bisa juga diikuti dengan gerakan tangan supaya anak tidak lekas bosan.
Setelah beberapa saat, latihan dilanjutkan dengan latihan visualisasi dimana anak diminta membayangkan suatu tempat atau suatu benda yang familiar dengan mereka, misalnya kamar tidur, binatang kesayangan, boneka atau apa saja. Lalu visualisasi dialihkan kedalam konteks olahraga, misalnya anak diminta membayangkan dirinya melakukan gerakan olahraganya. Sangatlah penting mereka membayangkan hal yang positif, gerakan yang benar, dan diakhiri dengan keberhasilan dan kepuasan.
Oleh: Dra. Yuanita Nasution, M. App. Sc., Psi.*
*Penulis adalah psikolog olahraga, juga staf peneliti bidang Psikologi Olahraga dan Kesehatan di Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani DEPDIKNAS.
REFERENSI
Day, J. (1994). Creative visualization with children: A practical guide.
Brisbane: Element Books.
Nasution, Y. (2000). Aspek psikologis dalam pemanduan bakat olahraga. Dalam Garuda Emas; Rencana induk pengembangan olahraga
prestasi di Indonesia: Pemanduan dan Pembinaan Bakat Usia Dini (Buku 2). Jakarta: KONI.
Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Departemen Pendidikan
Nasional. (2005). Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Pelatih
Olahraga Usia Dini (naskah siap cetak).
Reigner, G., Salmela, J., & Russell, S.J. (1993). Talent detection and
development in sport. Dalam R.N. Singer, M. Murphey & L.K. Tennant (Eds.): Handbook of research on sport psychology (hal 290-313). New York: Macmillan.
Screiber, L.R. (1990). The parents guide to kids’ sports. Boston: Little
Brown & Company.
Watson, A.S. (1995). Children in sport. Dalam J. Bloomfield, P.A. Fricker,
K.D. Fitch (Eds.): Science and medicine in sports (hal 495-527).
Victoria, Aus: Blackwell Science.
Visualisasi atau imajeri dalam istilah psikologi olahraga merupakan suatu teknik membayangkan sesuatu di dalam pikiran yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk mencapai target, mengatasi masalah, meningkatkan kewaspadaan diri, mengembangkan kreativitas dan sebagai simulasi gerakan atau kejadian. Bagi seorang anak, aktivitas visualisasi sangat mudah mereka lakukan karena dalam kehidupan bermain anak sehari-hari, mereka seringkali melakukannya sebagai khayalan.
Sebelum melakukan latihan visualisasi, anak bisa diajak untuk melakukan relaksasi terlebih dahulu, dimana anak diminta berbaring dengan mata tertutup lalu mereka diminta menarik nafas panjang dan membuang nafas secara perlahan-lahan melalui mulut. Gerakan ini bisa juga diikuti dengan gerakan tangan supaya anak tidak lekas bosan.
Setelah beberapa saat, latihan dilanjutkan dengan latihan visualisasi dimana anak diminta membayangkan suatu tempat atau suatu benda yang familiar dengan mereka, misalnya kamar tidur, binatang kesayangan, boneka atau apa saja. Lalu visualisasi dialihkan kedalam konteks olahraga, misalnya anak diminta membayangkan dirinya melakukan gerakan olahraganya. Sangatlah penting mereka membayangkan hal yang positif, gerakan yang benar, dan diakhiri dengan keberhasilan dan kepuasan.
Oleh: Dra. Yuanita Nasution, M. App. Sc., Psi.*
*Penulis adalah psikolog olahraga, juga staf peneliti bidang Psikologi Olahraga dan Kesehatan di Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani DEPDIKNAS.
REFERENSI
Day, J. (1994). Creative visualization with children: A practical guide.
Brisbane: Element Books.
Nasution, Y. (2000). Aspek psikologis dalam pemanduan bakat olahraga. Dalam Garuda Emas; Rencana induk pengembangan olahraga
prestasi di Indonesia: Pemanduan dan Pembinaan Bakat Usia Dini (Buku 2). Jakarta: KONI.
Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani, Departemen Pendidikan
Nasional. (2005). Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Pelatih
Olahraga Usia Dini (naskah siap cetak).
Reigner, G., Salmela, J., & Russell, S.J. (1993). Talent detection and
development in sport. Dalam R.N. Singer, M. Murphey & L.K. Tennant (Eds.): Handbook of research on sport psychology (hal 290-313). New York: Macmillan.
Screiber, L.R. (1990). The parents guide to kids’ sports. Boston: Little
Brown & Company.
Watson, A.S. (1995). Children in sport. Dalam J. Bloomfield, P.A. Fricker,
K.D. Fitch (Eds.): Science and medicine in sports (hal 495-527).
Victoria, Aus: Blackwell Science.